2009_12_21 Kritikan Kini Menjadi Hambatan Untuk Maju?


Gambar diambil di sini


Mendengar berita tentang bagaimana Luna Maya menjadi topik hangat seputar tulisannya dalam dunia maya, membuatku googling dan membaca beberapa informasi.


Well .. apa yang terjadi dengan negara kita? Masih adakah satu kebebasan berbicara tanpa syarat? Adakah kini kritikan menjadi satu ketakutan dan hambatan untuk maju? Adakah kini kita hanya mau mengejar target dan keinginan tanpa mau memahami orang orang disekitar kita.
Mari perlahan kita singkapi dengan bijak, tanpa emosi ..


Dikutip dari Koran epaper Tempo hari ini (Dec 22nd, 2009):


"Kasus Luna Maya menunjukkan bahwa godaan unuk memanfaatkan pasal karet pencemaran nama baik bisa menghinggapi siapa saja. Dalam kasus Prita Mulyasari, Rumah Sakit Omni menjadi pengadu, sedangkan kini justru kalangan pekerja infotainment yang mengadukan Luna. Jelas, langkah ini harus ditentang karena akan mendorong penegak hukum bertindak sewenang-wenang.


Artis 26 tahun itu diadukan oleh sejumlah wartawan infotainment di Jakarta gara-gara menuliskan omelan di Twitter, sebuah jejaring sosial di Internet. Dalam akunnya, Luna menyebut derajat wartawan infotainment lebih hina daripada pelacur dan pembunuh. Perempuan ini menumpahkan rasa kesalnya tak lama setelah diserbu para juru kamera dalam suatu perhelatan.

Ketika itu ia tengah menggendong bocah yang diduga anak Ariel Peterpan, pacarnya. Dalam kehebohan memburu komentar Luna inilah, salah satu kamera pekerja infotainment mengenai kepala bocah tersebut.

Mungkin itulah yang membuat Luna kesal sehingga mengumpat di Twitter. Akibatnya, Luna dilaporkan ke polisi atas tuduhan melanggar Undang-Undang No.
11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat 3 undang-undang ini memang mengatur larangan penyebaran informasi elektronik yang berbau penghinaan atau pencemaran nama baik.

Delik pencemaran nama baik dan fitnah, seperti diatur pada Pasal 310, 311, dan 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga dipakai sebagai landasan mengadukan sang artis.

Serangkaian delik itu pulalah yang selama ini digunakan oleh Rumah Sakit Omni, Serpong, untuk menjerat Prita secara pidana maupun perdata. Tapi ibu dua anak ini justru memanen simpati publik. Umumnya, orang menilai Prita tak layak diadili hanya gara-gara menuliskan keluhan mengenai layanan rumah sakit itu lewat surat elektronik. Bahkan belakangan dukungan terhadap Prita sungguh luar biasa, tercermin dari suksesnya gerakan pengumpulan koin.

Jika Prita pantas dibela, kenapa Luna Maya tak diperlakukan sama? Sebab, bila dibiarkan, nasib Luna akan sama dengan Prita: menjadi korban pasal karet dalam Undang-Undang ITE. Padahal, sepertinya halnya Prita, Luna pun sebenarnya hanya mengungkapkan kekesalannya. Sungguh berlebihan jika ekspresi seperti ini dianggap mencemarkan nama baik.

Ungkapan rasa kesal Luna seharusnya justru menjadi bahan introspeksi kalangan pekerja infotainment. Jangan-jangan cara mereka memburu berita, bahkan mengorek mengenai hal-hal pribadi kalangan artis, telah melanggar privasi orang.

Mengadukan Luna karena omelannya di Internet akan menjadi bumerang bagi kalangan wartawan secara keseluruhan. Kini banyak jurnalis bekerja di situs-situs berita. Tak sedikit di antara mereka memiliki blog atau aktif di situs jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook. Jika kita mendorong penegak hukum menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UndangUndang ITE, bukankah jerat ini juga bisa mengancam kita setiap saat?
 
Penegak hukum yang menangani kasus ini mestinya tidak mengulang kesalahan yang sama. Dalam kasus Prita, mereka memaksakan penggunaan ketentuan dalam Undang-Undang ITE yang jelas ditentang masyarakat karena melanggar kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Penegak hukum seharusnya tidak hanya terpaku pada aturan tertulis, tapi mesti pula mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. "

Aku tak ingin banyak menuliskan sesuatu. Porsi tulisan diatas, sudah mewakili fikiranku. Begitu rumitnya membayangkan negara ini berani maju, bila kita tak sanggup berdiri di garis kritikan kritikan pedas masyarakat yang menilainya?

Adakah sense positif thingking kita sudah luntur? Mari kita sama sama menggandeng koreksi diri. Sebuah tulisan tajam dari ungkapan kekesalan yang memiliki alasan. Masih ada sarana lain untuk menjembatani kesalahpahaman dan perbaikan diri.

2 Fans Berat:

ciwir mengatakan...

kritikan terkadang tanpa pernah dibarengi dengan solusi yang membangun.
yg dikritik juga merasa bahwa dengan dikritik maka seolah ia telah dihina...
(doh)

Kuyus is cute mengatakan...

yah betul ..
jadi emosi yang berbicara .. semoga antara kedua belah pihak bisa segera bertemu kata damai ..