2009_07_13 Rhenald Kasali Dan Kisah Seorang Gadis Desa dari Pulau Dewata


Gambar diambil di sini


Tulisan ini, merupakan catatan seorang Rhenald Kasali yang dimuat @ Koran SINDO. Catatan sederhana dengan rangkaian kalimat yang mudah dimegerti pembacanya. Aku ingin berbagi dengan pembaca di sini, karena ini sangat mengispirasiku untuk menjadi lebih baik dan tetap mencari pintu dimana aku bisa menemukan diriku.


Liburan belum datang tetapi saya sudah mendahuluinya. Akhir Mei lalu saya mendapat undangan untuk mengunjungi 3 negara sekaligus: Perancis, Italia, dan Yunani. Selama berlibur, saya juga bekerja dan mempelajari pariwisata, mendeteksi dampak krisis di Benua Eropa. Tetapi dalam pengalaman itu saya menemukan kisah-kisah inspiratif yang mungkin bisa membangkitkan spirit Anda.


Di Italia, saya berkunjung ke Rocca di Papa, sebuah kawasan yang sejuk di daerah perbukitan yang terletak 1 jam sebelah selatan kota Roma. Di tepi danau yang airnya biru itu, puluhan jenis burung berkicauan tiada henti. Angin semilir yang tertiup ke atas ke arah perbukitan membuat pemandangan menjadi semakin mengesankan. Tak ada yang menyangka pada salah satu bukit itu terdapat sebuah vila yang dioperasikan seorang gadis desa asal pulau Dewata.


Vila itu diberi nama sesuai nama asli pemiliknya: Dewi Francesca. Sambil meneguk secangkir kopi late, saya melihat suami Dewi mengoperasikan air mancur yang bisa melesat dari bawah bukit setinggi 15 meter. Dewi pun bercerita bagaimana ia membuka usaha di Rocca di Papa. Ketika media massa di Italia tak henti-hentinya menyuarakan krisis, vila Dewi Francesca yang ramai diminati para honey mooners itu sudah full-book hingga 2 tahun ke depan. Nuansa Bali yang dipadu dengan interior Italia terlihat dominan.


Potensi Menemukan “Pintu”-nya
Bagaimana kita menjelaskan seorang gadis desa, anak seorang petani yang selepas sekolah bekerja sebagai seorang pelayan restoran di sebuah hotel di Bali dapat menjadi seorang usahawan yang terhormat di luar negeri? Bagi kebanyakan orang hal ini adalah sebuah keniscayaan. Namun kalau itu dijalani dengan tekun, maka akhirnya manusia menemukan juga ”pintu keluarnya”.


Setahun yang lalu, di tengah-tengah padang pasir di Mesir, saya memandang lama piramid-piramid besar yang dibangun begitu megah ribuan tahun silam. Melihat gambarnya saja sudah indah, apalagi Anda berada di hadapannya. Kepada pasangan hidup yang menemani perjalanan, saya mengatakan ”Pantaslah Tuhan bersuara di tanah berpasir ini dan menyebar ke berbagai penjuru dunia.” Semua itu berawal dari keseriusan nenek moyang bangsa Mesir dalam mencari Tuhan.


Dalam antropologi piramid, saya melihat sebuah perjalanan manusia mencari Tuhan, dan di dalam kitab suci, saya membaca bagaimana Tuhan bertutur kepada nabi-nabi besar. Tuhan pun datang karena manusia mengetuk pintunya berkali-kali. Itulah esensi pencarian sesuatu dalam kehidupan. Manusia menemukan atas apa yang mereka cari.


Malcom Gladwell (2008) yang meneliti tentang kesuksesan manusia menemukan karya-karya besar ternyata tidak ditentukan oleh tingginya skor IQ yang dimiliki manusia, latar belakang keluarga, tanggal lahir, darah biru atau bukan, melainkan oleh dedikasi suci dalam mencari pintu keluar dari berbagai labirin kesulitan. Ia menyebut dedikasi itu sebagai suatu kecerdasan praktis.


Temuan ini sejalan dengan apa yang dikatakan John C. Maxwell dalam bukunya yang berjudul Talent is Never Enough (2007). Maxwell mengatakan, bakat itu hanyalah sebuah kesempatan, namun untuk menjadi ”sesuatu”, bakat itu harus diasah agar ia mengeluarkan aura cahayanya dan menemukan pintunya. Namun lebih dari itu, kesempatan atau sebuah potensi harus bergerak menemukan pintunya.


Di Indonesia, ada banyak orang pintar dan orang-orang kreatif. Namun sayang pemilik otak dan bakat-bakat pintar itu tidak menemukan pintunya. Kadang saya berpikir sangat dalam untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan para peserta seminar, mengapa mereka sulit untuk maju. Lama-lama saya pun mulai menemukan jawabannya.


Jawaban itu sebenarnya sederhana saja, yaitu ada pada cara berpikir yang kurang tepat. Ketika orang-orang pintar telah merasa dirinya pintar, maka ia pun tamat. Ia sudah selesai. Padahal di dunia ini ada banyak orang pintar (juga banyak yang bodoh). Namun yang mereka lupakan adalah ada orang yang makin pintar, namun juga banyak orang yang makin bodoh. Jadi pintar saja tidak cukup.


Memancing Keberuntungan
Saya pun menemukan jawaban itu di Vila Dewi Francesca. Semakin lama Dewi berbicara, semakin keluar auranya. Saya mengatakan pada istri saya betapa cerdasnya gadis desa ini. Ia memang bukan orang yang pintar, tetapi hidupnya berkembang dan ia menjadi semakin pintar. Namun ia memulainya bukan dengan IQ, uang, atau gelar sekolah, melainkan dengan sebuah dedikasi yang suci.


Buat orang-orang yang suci tidak ada kelicikan, pikiran-pikiran untuk menjatuhkan semangat orang lain. Sebagai pelayan di salah satu restoran pada sebuah hotel di Bali, Dewi melayani tamu-tamu asingnya dengan penuh ketulusan. Ketulusan itu akhirnya mempertemukan dia dengan seorang ibu tua keturunan Sicilia yang jatuh cinta dengan Bali. Ibu itu, Nyonya Francesca, rupanya juga tertarik dengan Dewi. Setelah beberapa kali datang ke Bali, ia menawarkan Dewi berkunjung ke Italia, dan membantunya di sana. Ketulusan dan kejujuran Dewi membuat Nyonya Francesca semakin menyayanginya. Selain merawat ibu tua itu, ia juga merawat kebun mawar Nyonya Francesca.


Anda yang kenal watak dan budaya orang-orang Italia Selatan, mungkin tahu bahwa mereka sangat hangat dan berorientasi pada keluarga. Ibu sangat dominan, dan anak-anak laki-laki selalu taat pada ibunya. Sampai ketika Nyonya Francesca mengangkat Dewi sebagai anaknya sendiri, dan sebelum meninggal dunia ia menawarkan anak laki-laki kesayangannya sebagai pasangan hidup Dewi. Mereka menikah dan sejak itu lahirlah vila baru yang ditujukan untuk para honey-mooners.


Suatu kebetulan?
Barang kali ada tangan Tuhan di sana, namun studi-studi tentang kesuksesan dan kebahagiaan yang dilakukan para ahli beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa hoki atau keberuntungan pun tak akan datang tiba-tiba. Seperti yang banyak dipelajari dari praktek-praktek penerapan ilmu keberuntungan China (Fengshui), keberuntungan harus dipancing agar ia mau datang. Dan keberuntungan hanya datang pada orang-orang yang siap, yang sejak awal cocok menerimanya. Itulah yang disebut ”pintu” oleh Maxwell atau kecerdasan praktis oleh Gladwell, atau dedikasi suci. Selamat berlibur dan menemukan inspirasi-inspirasi baru untuk meningkatkan produktivitas Anda di hari yang lebih cerah.



Bagaimana dengan anda?
Kisah inspiratif ini, menundukkan fikiran saya akan banyak hal yang sudah terjadi selama perjalanan hidup. Prosesi perenungan pun dimulai, ketika pintu demi pintu yang kubuka menemukan banyak kendala dan pilihan untuk memilih yang lain. Ya .. hidup adalah pilihan.
Sejauh mana keberhasilan sebuah pilihan itu akan menjadi kenyataan? Sejauh mana kita bisa mengasahnya menjadi ketekunan yang membuat kita pintar dan semakin pintar.

5 Fans Berat:

Ferfau mengatakan...

...Di Indonesia, ada banyak orang pintar dan orang-orang kreatif. Namun sayang pemilik otak dan bakat-bakat pintar itu tidak menemukan pintunya...

hakz,, fakta bgt mbak...
kekurangan Indonesia emg gt, dan dr tahun ke tahun ga berubah2.. klw pun berubah, dikit bgt persennya...

reni mengatakan...

Semoga aku dapat menemukan pintu mana yang harus kupilih untuk menuju kepada kehidupan yg lebih baik dan berguna bagi orang lain. Amin.
Makasih sharingnya mbak... Nice post !

Ippen mengatakan...

Mantav euy..... sangat inspiratif

Anonim mengatakan...

kuyus... aku ganti blog. kunjungi ya,,,,,

Unknown mengatakan...

Mantap👍